Minggu, 26 Mei 2013

1

Perjalanan ke Pulau Cinta

Posted in , ,


Oleh Reedho Al Diwani | @imajinarium
Pulau Cangke (Foto: Reedho Al Diwani)
PULAU CANGKE. Untuk sampai ke sana, kita bisa menempuh perjalanan laut menggunakan perahu nelayan atau perahu yang khusus digunakan sebagai angkutan antar pulau. Perahu-perahu yang berukuran panjang sekitar 10 meter dan lebar 3 meter melalui pelabuhan ikan Paotere’, akan mengantar kita ke pulau itu. Lama perjalanan kurang lebih 2,5 jam dari pelabuhan Paotere’ dan dapat ditempuh sekitar 25 menit dari ibu kota Kabupaten Pangkep. Secara administratif, Cangke berada dalam teritori Kabupaten Pangkep. Ukurannya hanya beberapa puluh meter, dapat dikelilingi dalam waktu 10 menit saja.

Daeng Abu dan istrinya (Foto: Reedho Al Diwani)
PANORAMA. Pasir putih mutiara akan menjemput kita di bibir pantai dengan deburan ombak yang bergulung pelan memecah di tepian. Air laut yang bening memberi pemandangan luar biasa, ikan-ikan aneka warna saling berkejaran diantara karang dan rumput laut. Dari kejauhan sesekali kawanan lumba-lumba berakrobat melawan riak gelombang. Angin sepoi-sepoi mengelus lembut daun-daun cemara yang memenuhi daratan pulau memberi kesejukan tersendiri meski matahari masih terik. Kita dapat menikmati sunrise dan sunset di kedua sisinya. Semuanya begitu indah dan menakjubkan.

BADAI HIDUP. Di bagian selatan agak ke timur sebuah rumah panggung yang terbuat dari potongan-potongan kayu berdiri sendirian. Di pulau ini hanya ada satu rumah, penghuninya hanya dua orang. Sepasang suami-istri yang telah mendiami pulau selama 33 tahun lebih. Dahulu rumah itu hanya gubuk kecil yang memuat dua orang saja yang ditinggalinya selam 30 tahun, barulah setelah anak mereka yang tinggal di pulau sebelah berhasil mengumpulkan uang dari hasil tangkapan ikan, akhirnya bisa membangun rumah panggung seperti sekarang untuk kedua orang tuanya. Di awal kedatangan merak ke pulau, hidup begitu sulit karena tak ada sumber air tawar untuk diminum, listrik, dan tidak bisa bercocok tanam karena semua hanya hamparan pasir yang tidak cocok untuk tanaman sayur dan kebutuhan makan. Maka jalan satu-satunya kembali ke pola hidup lama, barter. Setiap harinya mereka mencari ikan memakai peralatan sederhana dan menukarkan hasil tangkapan mereka dengan bahan makanan ke perahu-perahu nelayan yang kebetulan lewat di pulau itu. Atau kadang-kadang mereka menitipkan tangkapan ke nelayan untuk menukarkannya di pelabuhan.

Untuk tetap bertahan hidup, sang istri membuat perahu cadik kecil untuk digunakan memancing ikan. Karena hanya itu cara satu-satunya untuk dapat menangkap ikan, suaminya mengalami kebutaan saat ia menyelam. Namun hal itu tak menjadi penghalang, karena hidup harus tetap berjalan meski harus menembus badai. Anak mereka yang tinggal di pulau seberang akan dating sesekali di waktu tertentu saja untuk menengok orang tua tercinta.

CINTA DAN KESETIAAN. Sekitar tahun 1972, Daeng Abu yang ketika itu masih berusia 20 tahun diserang penyakit kusta. Pada masa itu, kusta dianggap sebagi kutukan. Tak ada yang mau menerima‘kutukan’ itu, juga keluarga mereka. Namun, seorang gadis bernama Sitti Maidahmenguji kesabaran dan kesetiaannya menemani sang suami tercinta. Hingga akhirnya Daeng Abu harus meninggalkan tanah kelahirannya di Kecamatan Bungoro, Pangkep, karena hidup tak berpihak ke mereka. Sitti Maidah ikut serta bersamanya berangkat ke tanah tak bertuan, Pulau Cangke. Mereka mengarungi hidup berdua saja di pulau kosong itu selama berpuluh tahun.

Hingga kini, sisa ‘kutukan’ itu masih membekas bersama kenangan masa lalu. Hari-hari terus disongsong dalam bingkai cinta dan kesetiaan meski Daeng Abu tak melihat lagi dan Sitti Maidah sulit memungsikan indra pendengarnya lagi.[]

1 komentar: